Estetika berasal dari kata
Yunani Aesthesis, yang berarti perasaan
atau sensitivitas. Itulah sebabnya maka estetika erat sekali hubungannya dengan
selera perasaan atau apa yang disebut dalam bahasa Jerman Geschmack atau Taste dalam bahasa Inggris. Estetika timbul
tatkala pikiran para filosuf mulai
terbuka dan mengkaji berbagai keterpesonaan rasa. Estetika bersama
dengan ethika dan logika membentuk satu kesatuan yang utuh dalam ilmu-ilmu
normatif di dalam filsafat. Dikatakan
oleh Hegel, bahwa: ―Filsafat seni membentuk bagian yang terpenting didalam ilmu
ini sangat erat hubungannya dengan cara manusia dalam memberikan definisi seni
dan keindahan (Wadjiz 1985: 10).
Perkembangan
estetika dari akhir abak ke-19 sampai abad ke-20, estetika muncul dalam impresionisme
(dengan pusat di Paris) yang menegaskan keluarnya kelompok ini dari aturan
kesenian (terutama lukis) yang sudah mapan. Yang ditonjolkan adalah ‘kesan’
dalam suatan bayang dan terang yang bereaksi atas patokan warna gelap (hitam)
dan terang yang sudah mapan.
Estetika pada abad ke-20, memuculkan aliran-aliran yang berkembang yaitu:
·
Simbolisme, ekspresi dalam bentuk lambing atau
symbol yang isinya ingin melukiskan intisari ilham atas inspirasi seniman.
Tokoh-tokohnya: Gauguin (1848-1930), Denis Maurice (1870-1943), dan
Yugendstil.
·
Fauvisme, melanjutkan ekspresionisme dengan
menegaskan symbol dan dekorasi dengan mempertajam penggunaa warna.
Tokoh-tokohnya: Henri Matisse (1869-1954), El Greco (1879-1940).
·
Surelisme, lukisan merupakan ekspresi dari
dunia khayal, mimpi, bayangan. Aliran ini dipengaruhi oleh psikologi
psikoanalisa Freud alam bawah sadar. Tokoh-tokohnya: H. Bosch (1450-1516), Marc
Chagall (1887-1985), dan Breton (1896-1966).
·
Kubisme, mengekspresikan pengamatan dan pengalaman
manusia dengan suatu konstruksi bentuk-bentuk kubus, selain itu aliran ini juga
digunakan sebagai alat ekspresi warna-warna sederhana, polos yang digoreskan
saling bertepian dan berdampingan secara jelas. Tohok-tokohnya: Pablo Ruiz Y
Picasso (1881-1973), George Bragne (1882-1963), dan Cezanne Paul
(1839-1906).
·
Seni
Abstrak,
menggambarkan sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan obyek-obyek luar, namun
ingin menekankan kebebasan ekspresi, kebebasan menggunakan bahan dan member
arti serta tafsiran. Tokoh-tokohnya: Wassili Kandinski (1866-1945) dan Kasimir
Malewitsj (1878-1935).
·
Aliran
Kritik Masyarakat, kesenian
ditempatkan dalam fungsi kemampuannya untuk menjadi kritik masyarakat, alat
kritis serta sumbangannya untuk kemanusiaan. Bersumber dari para cendekiawan
Eropa awal abad ke-20 yang sudah mempelajari Marxisme. Tokoh-tokohnya: Bloch
(1885-1971).
·
Aliran
Fenomenologi dan Eksistensialisme, dua aliran ini secara cermat mencari dasar penyatuan
antara subyek estetika dengan karya kesenian sebagai obyek pengalaman.
Tokoh-tokohnya: Merleau Ponty.
·
Defrenne, rasa estetis perbuatan yang
sama-sama dihayati baik oleh orang yang sedang merasai kesenian maupun oleh apa
yang sedang disajikan oleh kesenian.
Estetika
dalam kaitannya dengan sejarah menurut Benedetto Croce (1866-1952), keindahan
dalam tahap pemikiran, yaitu:
·
Pertama, intuisi yang terwujud dalam bahasa
dan sastra.
·
Kedua, Intuisi lirik berupa curahan rasa
dengan bentuk puisi.
·
Ketiga, intuisi dan ekspresi puitis
diletakkan pada manusia universal, yaitu ungkapan roh universal dalam diri
pribadi.
·
Keempat, ekspresi estetis mencapai puncak
dalam seni syair (La Poesia: 1936).
R.C.
Collingwood (1889-1943), memaparkan lima dasar pengetahuan manusia mengenai
kebenaran, yaitu art, religion, science, history, philosophy. George Santaya
(1863-1952), dalam bukunya, The Nature of Beauty (1896),
mengisahkan ‘keindahan’ adalah sebagai nilai yang digemari, diminati,
dirasai banyak orang. Sedangkan menurut Jose Ortega Y. Gasset (1883-1955),
mengatakan dalam bukunya, Deshumanizacion del Arte (1925),
seni yang kurang memperhatikan manusia akan merosot.
Estetika pada abad ini menggunakan pendekatan
psikologi untuk menemukan hakikat seni itu sendiri. Selain itu pada abad ke-20
ini kembali pada pemikiran-pemikiran spekulatif yaitu pada pemikiran-pemikiran
filsafat lama untuk menemukan suatu hal yang baru. Pada jaman inilah muncul
teori kritik atau metakritik yang berdasarkan pemikiran falsalfi seni.
Tokoh-tokohnya antara lain Edward Bullough yang mencetuskan teori disinterested.
Teori ini bertujuan di dalam menilai karya seni hendaknya secara objektif,
sehingga akan diperoleh suatu penikmatan yang objektif tanpa dikotori oleh
kepentingan pribadi. Teori ini mengharapkan orang dalam menghadapi karya seni
hendaknya menafikan segala kepentingan pribadinya.
Tokoh lainnya Benedeto Croce yang menggeser konsepsi
keindahan dengan konsep ekspresi dan mengumandangkan pandangan baru bahwa
kreasi artistik dan pengalaman estetik sebagai berasal dari formula ganda;
bahwa seni setaraf ekspresi setaraf intuisi, dan bahwa keindahan tak lebih dari
ekspresi yang berhasil, karena ekspresi yang gagal bukanlah ekspresi artinya
yaitu benda seni akan menjadi seni karena tanggapan subjek penanggapnya. Seni
terletak pada diri masing-masing subjek.
John Dewey melalui pendapatnya :
seni adalah bagian dari kehidupan itu sendiri. Dasar dari estetika adalah
pengalaman sehari-har. Pengalaman seni merupakan dasar pembentukan seni.
Pengalaman estetik yang diwujudkan dalam sebuah karya seni disebut pengalaman
artistic.
Dalam estetika modern, teori
imitasi modern, teori seni ekspresionisme modern, yaitu seni sebagai institusi
social. Teori keindahan modern diungkapkan oleh Clive Bell dengan teorinya
Significant form. Dalam teori ini dia mengungkapkan bahwa bentuk signifikan
muncul dari objek seni dan bentuk signifikan merupakan karakteristik objek itu
sendiri. Karya seni adalah sebuah objek yang memiliki bentuk signifikan yaitu
objek yang memiliki emosi estetik.
Susanne K.Langer menolak teori Aristoteles yang
mengatakan bahwa seni merupakan peniruan (mimesis) dari alam. Seni
sungguh-sungguh menghasilkan sesuatu yang lain sama sekali dari realitas
alamiah. Karya seni meskipun dalam arti tertentu mempunyai kemiripan dengan
alam, namun ia sudah tercabut dari kenyataan alamiah. Pada seni terdapat
prinsip kelainan dari alam, yang membuat seni itu sungguh-sungguh berdiri
sendiri sebagai ciptaan.
Prinsip ketercabutan dari kenyataan
alamiah menjadi prinsip penciptaan seni. Karena Langer bertolak dari asumsi bahwa
karya seni adalah hasil simbolisasi manusia, maka prinsip penciptaan seni
mengambil pola dari prinsip simbolisasi atau pembentukan simbol. Artinya seni
dapat disebut sebagai symbol karena seni memenuhi fungsi tertentu yaitu seni
mewujudkan, membentuk perasaan menjadi wujud.
George Dickie adalah filsuf yang
membentuk teori institusi seni yaitu bahwa karya seni dalam pengetian
klasifikasi adalah sebuah karya dalam pengertian evaluasi. Sesuatu itu disebut
mengandung nilai seni atau tidak tergantung pada adanya suatu evaluasi nilai.
Dalam perkembangan estetik
akhir-akhir ini, keindahan tidak hanya dipersamakan artinya dengan nilai
estetis seumumnya, melainkan juga dipakai untuk menyebut satu macam atau kelas
nilai estetis. Hal ini terjadi karena sebgian ahli estetik pada abad 20 ini
berusaha meyempurnakan konsepsi tentang keindahan, mengurangi sifatnya yang
berubah-ubah dan mengembangkan suatu pembagian yang lebih terperinci seperti
misalnya beautiful (indah), pretty (cantik), charming (jelita), attractive
(menarik) dan graceful (lemah gemulai).
Dalam arti yang lebih sempit dan rangkaian jenjang itu, keindahan biasanya
dipakai untuk menunjuk suatu nilai yang derjatnya tinggi. Dalam rangka ini
jelaslah sifat estetis mempunyai ruang lingkup yang lebih luas daripada sifat
indah karena indah kini merupakan salah satu kategori dalam lingkungannya.
Demikian pula nilai estetis tidak seluruhnya terdiri dari keindahan.
Nilai estetis selain terdiri dari
keindahan sebagai nilai yang positif kini dianggap pula meliputi nilai yang
negatif. Hal yang menunjukkan nilai negatif itu ialah kejelekan (ugliness).
Kejelekan tidaklah berarti kosongnya atau kurangnya ciri-ciri yang membuat
sesuatu benda disebut indah, melainkan menunjuk pada ciri-ciri yang nyata-nyata
bertentangan sepenuhnya dengan kawalita yang indah itu. Dalam kecenderungan
seni dewasa ini, keindahan tidak lagi merupakan tujuan yang paling penting dari
seni.
Sebagian seniman menganggap lebih
penting menggoncangkan publik daripada menyenangkan orang dengan karya seni
mereka. Goncangan perasaan dan kejutan batin itu dapat terjadi, dengan melalui
keindahan maupun kejelekan. Oleh karena itu kini keindahan dan kejelekan
sebagai nilai estetis yang positif dan yang negatif menjadi sasaran penelaahan
dari estetik filsafati. Dan nilai estetis pada umumnya kini diartikan sebagai
kemampuan dari sesuatu benda untuk
menimbulkan suatu pengalaman estetis.
Estetika kadang-kadang dirumuskan
pula sebagai cabang filsafat yang berhubungan dengan ― teori keindahan‖ (theory of beauty). Kalau
definisi keindahan memberitahu orang untuk mengenali, maka teori keindahan
menjelaskan bagaimana memahaminya. Teori obyektif berpendapat bahwa keindahan
atau ciri-ciri yang menciptakan nilaiestetika adalah (kwalita) yang memang
telah melekat pada benda indah yang bersangkutan, terlepas dari orang yang
mengamatinya. Pengamatan seseorang hanyalah menemukan atau menyingkapkan
sifat-sifat indah yang sudah ada pada sesuatu benda dan sama sekali tidak
berpengaruh untuk mengubahnya. Yang menjadi persoalan dalam 19teori ini ialah
ciri-ciri khusus manakah yang membuat sesuatu benda menjadi indah atau dianggap
bernilai estetis.
Filsuf seni dewasa ini menjawab
bahwa nilai estetis itu tercipta dengan terpenuhi asas-asas tertentu mengenai
bentuk pada sesuatu benda (khususnya karya seni yang diciptakan oleh
seseorang). Berlawanan dengan apa yang dikemukakan oleh teori obyektif, teori
subyektif menyatakan bahwa ciri-ciri yang menciptakan keindahan pada sesuatu
benda sesungguhnya tidak ada. Yang ada
hanyalah tanggapan perasaan dalam diri seseorang yang mengamati sesuatu benda .
Adanya keindahan semata-mata tergantung pada pencerapan dari si pengamat itu.
Kalaupun dinyatakan bahwa sesuatu benda mempunyai nilai estetis, hal ini
diartikan bahwa seseorang pengamat memperoleh sesuatu pengalaman estetis
sebagai tanggapan terhadap benda itu.