Saturday, November 10, 2012

ESTETIKA ABAD KE-20


Estetika berasal dari kata Yunani  Aesthesis, yang berarti perasaan atau sensitivitas. Itulah sebabnya maka estetika erat sekali hubungannya dengan selera perasaan atau apa yang disebut dalam bahasa Jerman  Geschmack atau  Taste dalam bahasa Inggris. Estetika timbul tatkala pikiran para filosuf mulai  terbuka dan mengkaji berbagai keterpesonaan rasa. Estetika bersama dengan ethika dan logika membentuk satu kesatuan yang utuh dalam ilmu-ilmu normatif di dalam filsafat.  Dikatakan oleh Hegel, bahwa: ―Filsafat seni membentuk bagian yang terpenting didalam ilmu ini sangat erat hubungannya dengan cara manusia dalam memberikan definisi seni dan keindahan (Wadjiz 1985: 10).
Perkembangan estetika dari akhir abak ke-19 sampai abad ke-20, estetika muncul dalam impresionisme (dengan pusat di Paris) yang menegaskan keluarnya kelompok ini dari aturan kesenian (terutama lukis) yang sudah mapan. Yang ditonjolkan adalah ‘kesan’ dalam suatan bayang dan terang yang bereaksi atas patokan warna gelap (hitam) dan terang yang sudah mapan.

                 Estetika pada abad ke-20, memuculkan aliran-aliran yang berkembang yaitu: 
·         Simbolisme, ekspresi dalam bentuk lambing atau symbol yang isinya ingin melukiskan intisari ilham atas inspirasi seniman. Tokoh-tokohnya: Gauguin (1848-1930), Denis Maurice (1870-1943), dan Yugendstil. 
·         Fauvisme, melanjutkan ekspresionisme dengan menegaskan symbol dan dekorasi dengan mempertajam penggunaa warna. Tokoh-tokohnya: Henri Matisse (1869-1954), El Greco (1879-1940). 
·         Surelisme, lukisan merupakan ekspresi dari dunia khayal, mimpi, bayangan. Aliran ini dipengaruhi oleh psikologi psikoanalisa Freud alam bawah sadar. Tokoh-tokohnya: H. Bosch (1450-1516), Marc Chagall (1887-1985), dan Breton (1896-1966). 
·         Kubisme, mengekspresikan pengamatan dan pengalaman manusia dengan suatu konstruksi bentuk-bentuk kubus, selain itu aliran ini juga digunakan sebagai alat ekspresi warna-warna sederhana, polos yang digoreskan saling bertepian dan berdampingan secara jelas. Tohok-tokohnya: Pablo Ruiz Y Picasso (1881-1973), George Bragne (1882-1963), dan Cezanne Paul (1839-1906). 
·         Seni Abstrak, menggambarkan sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan obyek-obyek luar, namun ingin menekankan kebebasan ekspresi, kebebasan menggunakan bahan dan member arti serta tafsiran. Tokoh-tokohnya: Wassili Kandinski (1866-1945) dan Kasimir Malewitsj (1878-1935). 
·         Aliran Kritik Masyarakat, kesenian ditempatkan dalam fungsi kemampuannya untuk menjadi kritik masyarakat, alat kritis serta sumbangannya untuk kemanusiaan. Bersumber dari para cendekiawan Eropa awal abad ke-20 yang sudah mempelajari Marxisme. Tokoh-tokohnya: Bloch (1885-1971). 
·         Aliran Fenomenologi dan Eksistensialisme, dua aliran ini secara cermat mencari dasar penyatuan antara subyek estetika dengan karya kesenian sebagai obyek pengalaman. Tokoh-tokohnya: Merleau Ponty. 
·         Defrenne, rasa estetis perbuatan yang sama-sama dihayati baik oleh orang yang sedang merasai kesenian maupun oleh apa yang sedang disajikan oleh kesenian.

Estetika dalam kaitannya dengan sejarah menurut Benedetto Croce (1866-1952), keindahan dalam tahap pemikiran, yaitu:
·         Pertama, intuisi yang terwujud dalam bahasa dan sastra.
·         Kedua, Intuisi lirik berupa curahan rasa dengan bentuk puisi.
·         Ketiga, intuisi dan ekspresi puitis diletakkan pada manusia universal, yaitu ungkapan roh universal dalam diri pribadi.
·         Keempat, ekspresi estetis mencapai puncak dalam seni syair (La Poesia: 1936).

R.C. Collingwood (1889-1943), memaparkan lima dasar pengetahuan manusia mengenai kebenaran, yaitu art, religion, science, history, philosophy. George Santaya (1863-1952), dalam bukunya, The Nature of Beauty (1896), mengisahkan ‘keindahan’ adalah sebagai nilai yang digemari,  diminati, dirasai banyak orang. Sedangkan menurut Jose Ortega Y. Gasset (1883-1955), mengatakan dalam bukunya,  Deshumanizacion del Arte (1925), seni yang kurang memperhatikan manusia akan merosot.


Estetika pada abad ini menggunakan pendekatan psikologi untuk menemukan hakikat seni itu sendiri. Selain itu pada abad ke-20 ini kembali pada pemikiran-pemikiran spekulatif yaitu pada pemikiran-pemikiran filsafat lama untuk menemukan suatu hal yang baru. Pada jaman inilah muncul teori kritik atau metakritik yang berdasarkan pemikiran falsalfi seni. Tokoh-tokohnya antara lain Edward Bullough yang mencetuskan teori disinterested. Teori ini bertujuan di dalam menilai karya seni hendaknya secara objektif, sehingga akan diperoleh suatu penikmatan yang objektif tanpa dikotori oleh kepentingan pribadi. Teori ini mengharapkan orang dalam menghadapi karya seni hendaknya menafikan segala kepentingan pribadinya.




Tokoh lainnya Benedeto Croce yang menggeser konsepsi keindahan dengan konsep ekspresi dan mengumandangkan pandangan baru bahwa kreasi artistik dan pengalaman estetik sebagai berasal dari formula ganda; bahwa seni setaraf ekspresi setaraf intuisi, dan bahwa keindahan tak lebih dari ekspresi yang berhasil, karena ekspresi yang gagal bukanlah ekspresi artinya yaitu benda seni akan menjadi seni karena tanggapan subjek penanggapnya. Seni terletak pada diri masing-masing subjek.




John Dewey melalui pendapatnya : seni adalah bagian dari kehidupan itu sendiri. Dasar dari estetika adalah pengalaman sehari-har. Pengalaman seni merupakan dasar pembentukan seni. Pengalaman estetik yang diwujudkan dalam sebuah karya seni disebut pengalaman artistic.








Dalam estetika modern, teori imitasi modern, teori seni ekspresionisme modern, yaitu seni sebagai institusi social. Teori keindahan modern diungkapkan oleh Clive Bell dengan teorinya Significant form. Dalam teori ini dia mengungkapkan bahwa bentuk signifikan muncul dari objek seni dan bentuk signifikan merupakan karakteristik objek itu sendiri. Karya seni adalah sebuah objek yang memiliki bentuk signifikan yaitu objek yang memiliki emosi estetik.


Susanne K.Langer menolak teori Aristoteles yang mengatakan bahwa seni merupakan peniruan (mimesis) dari alam. Seni sungguh-sungguh menghasilkan sesuatu yang lain sama sekali dari realitas alamiah. Karya seni meskipun dalam arti tertentu mempunyai kemiripan dengan alam, namun ia sudah tercabut dari kenyataan alamiah. Pada seni terdapat prinsip kelainan dari alam, yang membuat seni itu sungguh-sungguh berdiri sendiri sebagai ciptaan.


Prinsip ketercabutan dari kenyataan alamiah menjadi prinsip penciptaan seni. Karena Langer bertolak dari asumsi bahwa karya seni adalah hasil simbolisasi manusia, maka prinsip penciptaan seni mengambil pola dari prinsip simbolisasi atau pembentukan simbol. Artinya seni dapat disebut sebagai symbol karena seni memenuhi fungsi tertentu yaitu seni mewujudkan, membentuk perasaan menjadi wujud. 

George Dickie adalah filsuf yang membentuk teori institusi seni yaitu bahwa karya seni dalam pengetian klasifikasi adalah sebuah karya dalam pengertian evaluasi. Sesuatu itu disebut mengandung nilai seni atau tidak tergantung pada adanya suatu evaluasi nilai.





Dalam perkembangan estetik akhir-akhir ini, keindahan tidak hanya dipersamakan artinya dengan nilai estetis seumumnya, melainkan juga dipakai untuk menyebut satu macam atau kelas nilai estetis. Hal ini terjadi karena sebgian ahli estetik pada abad 20 ini berusaha meyempurnakan konsepsi tentang keindahan, mengurangi sifatnya yang berubah-ubah dan mengembangkan suatu pembagian yang lebih terperinci seperti misalnya beautiful (indah), pretty (cantik), charming (jelita), attractive (menarik) dan  graceful (lemah gemulai). Dalam arti yang lebih sempit dan rangkaian jenjang itu, keindahan biasanya dipakai untuk menunjuk suatu nilai yang derjatnya tinggi. Dalam rangka ini jelaslah sifat estetis mempunyai ruang lingkup yang lebih luas daripada sifat indah karena indah kini merupakan salah satu kategori dalam lingkungannya. Demikian pula nilai estetis tidak seluruhnya terdiri dari keindahan.

Nilai estetis selain terdiri dari keindahan sebagai nilai yang positif kini dianggap pula meliputi nilai yang negatif. Hal yang menunjukkan nilai negatif itu ialah kejelekan (ugliness). Kejelekan tidaklah berarti kosongnya atau kurangnya ciri-ciri yang membuat sesuatu benda disebut indah, melainkan menunjuk pada ciri-ciri yang nyata-nyata bertentangan sepenuhnya dengan kawalita yang indah itu. Dalam kecenderungan seni dewasa ini, keindahan tidak lagi merupakan tujuan yang paling penting dari seni.
Sebagian seniman menganggap lebih penting menggoncangkan publik daripada menyenangkan orang dengan karya seni mereka. Goncangan perasaan dan kejutan batin itu dapat terjadi, dengan melalui keindahan maupun kejelekan. Oleh karena itu kini keindahan dan kejelekan sebagai nilai estetis yang positif dan yang negatif menjadi sasaran penelaahan dari estetik filsafati. Dan nilai estetis pada umumnya kini diartikan sebagai kemampuan dari sesuatu benda  untuk menimbulkan suatu pengalaman estetis.
Estetika kadang-kadang dirumuskan pula sebagai cabang filsafat yang berhubungan dengan  ― teori keindahan‖ (theory of beauty). Kalau definisi keindahan memberitahu orang untuk mengenali, maka teori keindahan menjelaskan bagaimana memahaminya. Teori obyektif berpendapat bahwa keindahan atau ciri-ciri yang menciptakan nilaiestetika adalah (kwalita) yang memang telah melekat pada benda indah yang bersangkutan, terlepas dari orang yang mengamatinya. Pengamatan seseorang hanyalah menemukan atau menyingkapkan sifat-sifat indah yang sudah ada pada sesuatu benda dan sama sekali tidak berpengaruh untuk mengubahnya. Yang menjadi persoalan dalam 19teori ini ialah ciri-ciri khusus manakah yang membuat sesuatu benda menjadi indah atau dianggap bernilai estetis.
Filsuf seni dewasa ini menjawab bahwa nilai estetis itu tercipta dengan terpenuhi asas-asas tertentu mengenai bentuk pada sesuatu benda (khususnya karya seni yang diciptakan oleh seseorang). Berlawanan dengan apa yang dikemukakan oleh teori obyektif, teori subyektif menyatakan bahwa ciri-ciri yang menciptakan keindahan pada sesuatu benda sesungguhnya tidak ada.  Yang ada hanyalah tanggapan perasaan dalam diri seseorang yang mengamati sesuatu benda . Adanya keindahan semata-mata tergantung pada pencerapan dari si pengamat itu. Kalaupun dinyatakan bahwa sesuatu benda mempunyai nilai estetis, hal ini diartikan bahwa seseorang pengamat memperoleh sesuatu pengalaman estetis sebagai tanggapan terhadap benda itu.